Rabu, 23 Mei 2018

Suara yang Tak Terdengar


Jika anda sedang ingin berpergian dan melewati jalur menuju arah Magetan, Anda akan melewati sebuah jalan yang pada sisi timur terdapat sebuah pemukian yang tidak luas dengan beberapa bangunan kecil di dalamya dan pada gerbangnya tertulis Mushola Al-Hidayah, Sambirejo RT 27 RW 01. Liposos singkatan dari Lingkungan Pondok Sosial yang tepatnya berada di Desa Sambirejo Kecamatan Madiun. Lingkungan ini didirikan langsung oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada masa kepemimpinan Soeharto. Pada awalnya, lingkungan ini digunakan untuk menampung para transmigran ke Luar Jawa sebagai wujud dari pemerataan pembangunan dan pelatihan sebelum diberangkatkan. Dibawahi langsung oleh Pemprov, lingkungan ini begitu fungsional pada masa Presiden Soeharto. Namun setelah Beliau lengser, lingkungan ini lambat laun tidak terurus dan ditinggalkan oleh Pemprov.
Menurut data yang didapat dari Ketua RT setempat, Bapak Miswan mengatakan bahwa di tempat ini terdapat sekitar 20 keluarga yang terdiri lebih dari 100 orang. Setiap 2 Keluarga menempati satu rumah kecil yang dibagi menjadi bagian depan dan belakang dengan lebar kira-kira 3x3m/rumah. Karena rumah yang begitu kecil tersebut, terpaksa warga ini hanya memiliki 1 MCK yang digunakan secara bersama. Di lingkungan ini terdapat sebuah kelas yang dulunya digunakan untuk tempat pelatihan, namun karena sudah tidak terpakai maka diubah menjadi masjid dan balai pertemuan. Dari lingkungan yang tidak layak inilah, kemudian muncullah banyak persoalan yang membelit warga sekitar.
“Kami tidak bisa merenovasi rumah ini, karena kepemilikan tanah ini belum jelas. Kami sudah mengajukan pemohonan ke Pemerintah Daerah Madiun untuk dapat membeli tanah disini, agar kami bisa merenovasinya. Namun dari pihak pemerintah daerah tidak dapat mengabulkannya karena memang keberadaan tanah di sini masih di bawah tanggung jawab Pemerintah Provinsi. Tapi kan pihak Provinsi juga sudah tidak mengurusi lagi. Jadi kami bingung kalau ingin memperbaiki rumah, takutnya nantidigusur”, tambah Bapak Miswan. Dari persoalan rumah inilah kemudian mempengaruhi hal lainnya.
Keluarga dengan anak lebih dari 2 tentu kurang layak tinggal di rumah dengan ukuran 3x3m. Biasanya anak sulung dari keluarga tersebut akan segera meninggalkan rumah selepas SMP untuk hidup di jalanan atau bahkan pergi entah kemana tanpa kabar. Ibu-ibu di lingkungan ini bekerja seadanya karena mereka juga tidak mempunyai kemampuan khusus untuk bekerja secara layak. Seorang ibu ada yang membuka toko kelontong kecilkecilan di depan rumahnya, lainnya mengemis, memulung sampah dan mengamen dari satu terminal ke terminal lainnya. Bapak-bapak di sini kebanyakan bekerja sebagai kuli bangunan dan pemulung.
Meskipun dalam keadaaan yang serba kekurangan, tidak menyurutkan semangat mereka untuk hidup lebih baik. Setiap minggu mereka mengikuti pengajian rutin yang diisi oleh Ustadz dari pondok di sekitar lingkungan tersebut. Ada pula pengajaran mingguan yang diadakan oleh lembaga swasta untuk mengajar anak anak kecil di lingkungan.
Namun di samping itu, mereka membutuhkan bekal yang dapat menopang hidupnya. Meskipun tempat ini tidak lagi menjadi balai pelatihan untuk para transmigran, mereka berharap pemerintah tetap bersedia memberikan pelatihan ketrampilan untuk warga sekitar. Agar mereka dapat bekerja secara layak atau membuka usaha kecil-kecilan di rumah. Dan yang paling penting adalah tentang kejelasan hak milih tanah yang mereka tinggali. Agar nasib mereka tidak simpang siur antara tetap tinggal dan ketakutan akan adanya penggusuran.

(Diah Krisma, Lisdayanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ASIRO untuk Kontes Robot Indonesia Nasional 2018

            ASIRO ( AE Sar Intelligent Robot ) merupakan generasi robot berkaki Politeknik Negeri Madiun yang berhasil mengikut...