Jika
anda sedang ingin berpergian dan melewati jalur menuju arah Magetan, Anda akan
melewati sebuah jalan yang pada sisi timur terdapat sebuah pemukian yang tidak
luas dengan beberapa bangunan kecil di dalamya dan pada gerbangnya tertulis
Mushola Al-Hidayah, Sambirejo RT 27 RW 01. Liposos singkatan dari Lingkungan
Pondok Sosial yang tepatnya berada di Desa Sambirejo Kecamatan Madiun.
Lingkungan ini didirikan langsung oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada masa
kepemimpinan Soeharto. Pada awalnya, lingkungan ini digunakan untuk menampung
para transmigran ke Luar Jawa sebagai wujud dari pemerataan pembangunan dan
pelatihan sebelum diberangkatkan. Dibawahi langsung oleh Pemprov, lingkungan
ini begitu fungsional pada masa Presiden Soeharto. Namun setelah Beliau
lengser, lingkungan ini lambat laun tidak terurus dan ditinggalkan oleh
Pemprov.
Menurut
data yang didapat dari Ketua RT setempat, Bapak Miswan mengatakan bahwa di
tempat ini terdapat sekitar 20 keluarga yang terdiri lebih dari 100 orang.
Setiap 2 Keluarga menempati satu rumah kecil yang dibagi menjadi bagian depan
dan belakang dengan lebar kira-kira 3x3m/rumah. Karena rumah yang begitu kecil
tersebut, terpaksa warga ini hanya memiliki 1 MCK yang digunakan secara
bersama. Di lingkungan ini terdapat sebuah kelas yang dulunya digunakan untuk
tempat pelatihan, namun karena sudah tidak terpakai maka diubah menjadi masjid
dan balai pertemuan. Dari lingkungan yang tidak layak inilah, kemudian
muncullah banyak persoalan yang membelit warga sekitar.
“Kami
tidak bisa merenovasi rumah ini, karena kepemilikan tanah ini belum jelas. Kami
sudah mengajukan pemohonan ke Pemerintah Daerah Madiun untuk dapat membeli
tanah disini, agar kami bisa merenovasinya. Namun dari pihak pemerintah daerah
tidak dapat mengabulkannya karena memang keberadaan tanah di sini masih di
bawah tanggung jawab Pemerintah Provinsi. Tapi kan pihak Provinsi juga sudah
tidak mengurusi lagi. Jadi kami bingung kalau ingin memperbaiki rumah, takutnya
nantidigusur”, tambah Bapak Miswan. Dari persoalan rumah inilah kemudian
mempengaruhi hal lainnya.
Keluarga
dengan anak lebih dari 2 tentu kurang layak tinggal di rumah dengan ukuran
3x3m. Biasanya anak sulung dari keluarga tersebut akan segera meninggalkan
rumah selepas SMP untuk hidup di jalanan atau bahkan pergi entah kemana tanpa
kabar. Ibu-ibu di lingkungan ini bekerja seadanya karena mereka juga tidak
mempunyai kemampuan khusus untuk bekerja secara layak. Seorang ibu ada yang
membuka toko kelontong kecilkecilan di depan rumahnya, lainnya mengemis,
memulung sampah dan mengamen dari satu terminal ke terminal lainnya.
Bapak-bapak di sini kebanyakan bekerja sebagai kuli bangunan dan pemulung.
Meskipun
dalam keadaaan yang serba kekurangan, tidak menyurutkan semangat mereka untuk
hidup lebih baik. Setiap minggu mereka mengikuti pengajian rutin yang diisi
oleh Ustadz dari pondok di sekitar lingkungan tersebut. Ada pula pengajaran
mingguan yang diadakan oleh lembaga swasta untuk mengajar anak anak kecil di
lingkungan.
Namun
di samping itu, mereka membutuhkan bekal yang dapat menopang hidupnya. Meskipun
tempat ini tidak lagi menjadi balai pelatihan untuk para transmigran, mereka
berharap pemerintah tetap bersedia memberikan pelatihan ketrampilan untuk warga
sekitar. Agar mereka dapat bekerja secara layak atau membuka usaha
kecil-kecilan di rumah. Dan yang paling penting adalah tentang kejelasan hak
milih tanah yang mereka tinggali. Agar nasib mereka tidak simpang siur antara
tetap tinggal dan ketakutan akan adanya penggusuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar