Secret 1
“Apa kalian tahu bagaimana rasanya punya pacar?” tanya laki-laki
berkacamata, bernama Umam.
“Tidak,” jawabku.
“Bagaimana denganmu, Ghaz?” tanya Umam pada Ghazi disebelahku.”
“Kami belum pacaran. Tapi kala itu teman masa kecilku bertanya padaku,
apakah dia cantik,” jawab Ghazi.
“Lalu jawabanmu?” desakku.
“Aku menjawab, kamu belum cantik. Tidak tahu sore nanti, tunggu
saja,” jawab Ghazi.
“Apa yang terjadi pada temanmu?” tanya Umam.
“Dia pergi dan tidak kembali lagi sampai sekarang.”
“Dia pasti mengiramu jahat karena mengatakan hal itu,” ucapku.
“Mau bagaimana lagi. Jujur lebih baik,” balas Ghazi.
“Tapi beda konteks jika sudah berhadapan dengan cewek,” ketusku.
“Tidak menghargai perasaan sama sekali,” tambah Umam.
“Bagaimana denganmu sendiri, Mif?” sindir Ghazi padaku.
“Dulu, aku dekat dengan seorang gadis tetangga sebelah rumahku.
Siang itu dia datang dan menanyakan, apa yang akan aku lakukan jika ada seorang
gadis yang menyatakan perasaannya padaku.”
“Jawabanmu?”
“Jawabanku, jika hal itu terjadi maka gadis itu sama sekali tidak
memiliki harga diri. Seharusnya wanita lebih berharga dibanding dengan
laki-laki. Dan disaat itu juga gadis itu mengatakan jika menyukaiku.”
“Bagaimana reaksimu?” tanya Umam penasaran.
“Aku pingsan.”
“APA!!!!!”
Secret
2
“Bodoh!”
“Laki-laki tidak berguna,” timpal Ghazi.
“Apa alasanmu pingsan?”
“Aku shok karena gadis itu yang ku ejek. Sejak
saat itu dia tidak datang kembali padaku,” jawabku membela diri.
“Kalian berdua sama-sama tidak berguna,” sindir Umam.
“Bagaimana denganmu?” tanyaku.
“Dari dulu aku tidak memiliki teman seorang gadis jadi sekarang...”
Umam mengeluarkan sebuah poster warna warni bertuliskan open recruitment
pacar untuk Umam, “aku sedang mencari seorang pacar.”
Kami berdua hanya menatapnya datar.
“Ayo pergi,” ajak Ghazi.
Aku mengangguk.
“Tunggu!”
Kami menoleh kearah Umam.
“Bukankah Rizki memiliki mantan?” Umam mengalihkan pembicaraan.
Laki-laki yang tidak tinggi dan tidak pendek, Rizki namanya. Dia
datang ke meja kami.
“Ceritakan pada kami.”
“Saat aku masih SMA, aku berangkat dan pulang dengan seorang gadis
berambut pendek. Sejak saat itu, mereka
menganggap kami pacaran. Tapi kenyataannya tidak, karena aku tidak bisa
melakukannya pada gadis itu. Dia berbeda dari yang lain,” jelas Rizki.
“Gadis yang istimewa,” gumam Ghazi.
“Keren,”
“Kenapa seperti itu?” tanya Umam.
“Karena dia adik perempuanku.”
“MATI SAJA LO!!!!”
Secret 3
Festival kampus,
“Kenapa kelas kita mendapat bagian
rumah hantu?” tanyaku.
“Karena tidak ada yang datang rapat
saat itu,” jawab Ghazi.
“Kelas yang menyedihkan. Mari
pergi berkeliling,” ajak Umam.
Kami berjalan mengelilingi setiap stand
makanan.
“Kira-kira apa kita akan bertemu
dengan seorang gadis?” tanyaku.
“Jika itu terjadi, aku akan jadi
orang pertama yang mengajaknya ke stand kelas kita,” jawab Umam
semangat.
“Sayangnya, mereka datang dengan
pasangan masing-masing,” sahut Ghazi.
“Aku tidak mau perang dua ketiga
terjadi,” tambahku.
Ghazi mengangguk setuju, “kampus
kita kebanyakan laki-laki dan untuk bertemu seorang gadis sangat mustahil.”
“Kalian benar-benar tidak
berguna,” keluh Umam.
Bugh!
Seseorang menabrak tubuhku dan
terjatuh. Dia berpakaian maid lengkap.
“Kamu baik-baik saja?” kuulurkan
tanganku padanya.
“Terima kasih,” jawabnya pelan.
“Wah! Miftah terlihat seperti
pangeran,” sanjung Umam.
“Benar juga. Tapi tunggu dulu.
Kita berada di kampus tanpa perempuan!” pekik Ghazi.
Orang yang menabrakku berdiri dan
menampakkan wajahnya.
“HEH!!! Rizki???!!!”
“Ada
apa dengan pakaianmu?”
“Menjadi
maid. Datanglah ke kelasku.”
“Malas.
Karena semuanya laki-laki,” ketus Umam.
“Terserah,”
Rizki melangkah pergi.
“Kita
kembali saja,” ajakku.
Mereka
berdua mengangguk.
Kami
kembali ke kelas menjaga stand.
“Ini
sangat membosankan,” keluh Umam.
Pandangan
kami tertuju pada dua insan yang saling bergandengan tangan.
“Aku
iri,” ucap Ghazi.
“Kasihan,”
balasku.
“Aku
juga,” tambah Umam.
“Kami
tidak peduli,” tegasku dan Ghazi.
“Aku
berharap hidup di dunia dongeng yang berakhir bahagia,” ucap Umam.
“Pergi
saja sendiri,” balasku dan Ghazi.
“Kalian
menyebalkan!!!” pekik Umam sembari memukulku dan Ghazi.
“Permisi.”
Kami
menoleh ke tiga gadis yang berdiri di depan stand kami.
“Y-Ya?”
jawab Umam gugup.
“Kami
ingin masuk,” ucap gadis berambut pendek.
“Tapi
kami tidak berani,” tambah gadis kuncir kuda.
“Bisa
kalian temani kami?” tanya gadis berambut panjang.
Brak!
Kami
pingsan karena shok.
-End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar